Peradaban (bangsa) Sumeria yang telah muncul sekitar tahun 4500 SM diduga sebagai cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan terkhusus kajian Astronomi-Astrologi bagi peradaban sesudahnya. Peradaban Babilonia (Iraq Selatan) adalah lanjutan peradaban Sumeria tersebut yang punya pengaruh yang sangat kuat. Orang-orang Babilonia dikenal hobi dengan ilmu eksperimental, membuat peradaban ini bertahan dan berkembang dalam sejarah. Sumbangsih besar, sekaligus masalah besar Babilonia yang telah mengakar hingga saat ini adalah Astrologi. Astrologi lahir sekitar 2000 tahun SM di Lembah Mesopotamia (diantara sungai Eufrat dan Tigris). Dapat dibayangkan, langit yang begemerlapan oleh ribuan bintang-bintang dengan ketiadaan lampu taman dan kota ketika itu, tentunya sangat inspiratif untuk para Astrolog dan pendeta Babilonia, mereka mengamati dan memandang sekaligus meramal kejadian dilangit, mereka beranggapan bahwa setiap gerak benda-benda dilangit adalah pesan dari penguasa alam yang harus diterjemahkan. Ramalan yang pada mulanya diperuntukkan untuk raja dan negara, tetapi juga merembes untuk meramal kehidupan sehari-hari orang biasa. Kenapa demikian? Karena Astrologi bicara tentang manusia sehari-hari dengan segala kemungkinan suka dan dukanya. Namun, sejauh mana kita merelakan peruntungan pada benda-benda angkasa tersebut?, atau, apakah Islam melegalisir aktifitas ini … !
Astronomi dengan Astrologi sangatlah berbeda, meski kedua-duanya sama, sama dalam menerjemahkan alam raya (langit), keduanya memang tidak lepas dari pemaknaaan benda-benda langit. Astrologi mempelajari hubungan kedudukan rasi bintang (zodiak), planet, matahari dan bulan terhadap karakter dan nasib seseorang. Sementara Astronomi tidak hanya mempelajari planet, matahari, bulan, bintang, tapi juga galaksi, black hole, pulsar, dan benda-benda angkasa lainnya. Astronomi mempelajari alam secara fisika-matematika dan hukum-hukum alamnya. Sehingga kesimpulannya bahwa benda-benda di atas sana adalah benda langit, bukan dewa-dewi atau makhluk luar biasa.
Dimasa peradaban Babilonia, telah muncul tabel-tabel peredaran benda-benda langit, penyiapan kalender pergantian musim dan perubahan wajah bulan, pemetaaan langit, dan peramalan terjadinya Gerhana yang merupakan embrio Astronomi modern. Sumbangsih penting lain dari peradaban ini adalah, bangsa Babilonia menetapkan sebuah lingkaran menjadi 360 derajat, berdasarkan itu juga, Babilonia menjadikan keadaan bumi (muhith al ardh/muhith al falak) 360 derajat. Dan lagi, Babilonia telah menetapkan satu hari = 24 jam, satu jam = 60 menit dan satu menit = 60 detik.
Sementara itu, peradaban Mesir kuno punya segudang talenta sejarah yang panjang nan banyak memenuhi halaman buku-buku sejarah. Khusus dalam kaitan kajian perbintangan, Mesir kuno memang tidak punya begitu banyak perhatian terhadap observasi Gerhana dan gerakan bulan dan planet-planet lainnya, namun peradaban Mesir kuno punya kepercayaan yang mengakar dalam penanggalan. Melalui rutinitas banjir sungai Nil setiap tahun yang selalu bertepatan dengan munculnya bintang Sirius (najm syi'ry yamany) dibagian timur pada malam bulan musim panas sekitar tanggal 19 Tamuz / تموز (Juli) dan mulai bersinar diakhir bulan Ab / آب (Agustus). Karena munculnya bintang ini selalu bersamaan dengan datangnya banjir sungai Nil setiap tahun, Mesir kuno menjadikan fenomena alam ini sebagai dasar penanggalan yang terus digunakan hingga saat ini. Diperadaban ini juga, Mesir kuno telah mengenal dan menciptakan jam matahari (mizwalah) yang muncul lebih kurang tahun 1500 SM.
Peradaban China, tak kalah besar pengaruhya dengan peradaban lainnya, diperadaban ini telah ada perhitungan gerak benda-benda angkasa seperti menghitung terjadinya gerhana seperti dipelopori oleh Konfusius (w.± abad V SM). Dimasa ini telah ada pula sistem penanggalan dengan segala plus-minusnya, diduga pula, bangsa China kuno telah dan pernah melakukan pengkajian-perhitungan terhadap Nova dan Supernova. Astronom China silam, Shi Shen, konon sudah berhasil menyususn katalog bintang-bintang yang sangat boleh jadi sebagai katalog 'tertua' yang terdiri 800 entri pada tahun 350 SM.
Peradaban India dan Persia
Dua peradaban (bangsa) ini, adalah peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari dua peradaban inilah -secara langsung- muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban Yunani kuno yang telah mengakar. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab) dibanding Persia. Bangasa India kuno, yang telah memulai peradabannya sedikitnya sejak 3000 tahun SM di lembah sungai Indus di Mahenjo-Daro atau Harappa punya gambaran mitos menarik tentang jagad raya, mereka percaya bumi ini adalah datar bersangga diatas punggung beberapa ekor gajah raksasa; gajah-gajah itu berdiri diatas punggung seekor kura-kura maha besar. Langit tidak lain adalah seekor ular kobra raksasa yang badannya melingkari bumi, pada malam hari sisik-sisik ular itu mengkilat berkilauan sebagai bintang-bintang.
Buku Sind Hind / سند هند dari bahasa asli براهمسبهطسد هانت punya pengaruh besar dalam perkembangan peradaban falak Arab Islam, dengan puncaknya pada Dinasti Abbasiyah masa pemerintahan Al Manshur, diturunkan SK (baca: perintah) untuk meringkas dan menerjemahkan buku ini kedalam bahasa Arab. Ibrahim al Fazzari (w…?) adalah orang yang menerima perintah untuk menerjemahkan buku ini, sekaligus pula ia melahirkan buku penjelas "As Sanad Hind al Kabir", dan buku ini terus bertahan hingga masa Al Makmun Dinasti Umawiyah. Perkembangan berikutnya, bermunculan karya-karya falak Arab nan banyak lagi beragam dimasa Dinasti Abbasiyah dan Umawiyah, namun kesemuanya senantiasa bernuansa gaya falak ala-Sind Hind tersebut.
Peradaban Persia, berada pada urutan kedua setelah India dalam pengaruhnya dalam Islam, peradaban ini juga mengambil (belajar) dari peradaban India disamping peradaban lainnya. Namun demikian, pengaruh peradaban Persia tetaplah signifikan, terbukti dipemerintahan Abbasiyah masa Al Manshur ia mengumpulkan pembesar-pembesar ahli perbintangan Persia untuk berdiskusi seperti Nubekht al Farisy (w.326 H), Umar bin al Farkhan (w.± 200 H), Ibrahim al Fazzary (w...?), dll.
Diantara istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini antara lain; zayj (zig), awj (Aphelion), dll. Sementara buku-buku falak bahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab Islam antara lain; زيج الشهريار dan زيج الشاة yang merupakan ephemiris (Zig) yang cukup masyhur ketika itu. Berikutnya Al Khawarizmi (w.232 H) juga membuat Zig-nya (Ta'adil al Kawakib) dalam corak mazhab Persia, demikian lagi Abu Ma'syar al Falaky (w.272 H), dll. Buku-buku falak Persia yang dinukil kedalam bahasa Arab antara lain buku " البزيذج فى المواليد " yang dinisbahkan pada بزرجمهر , dan "Shuwar al Wujuh" karya تنكلوس .
Peradaban Yunani
Seperti disebut diatas, pengamatan fenomena jagad raya telah dilakukan sejak dahulu kala oleh orang-orang peradaban Babilonia, Cina, Mesir kuno, dll. Namun Astronomi sebagai ilmu pengetahuan baru berkembang pada peradaban Yunani pada abad ke-6 SM. Adalah Thales diduga sebagai yang memelopori ilmu Astronomi klasik di Yunani. Ia berpendapat bahwa Bumi merupakan sebuah dataran yang luas. Di waktu yang sama, Phytagoras melontarkan pendapat yang berbeda dengan Thales, menurut Phytagoras, bentuk bumi adalah bulat, meski belum didukung banyak bukti.
Terobosan Astronomi lainnya dilakukan oleh Aristarchus (w.±250 SM) di abad 3 SM. Ia berpendapat, Bumi bukan pusat alam semesta. Ia mengungkap bahwa bumi berputar dan beredar mengelilingi matahari (Heliosentris). Walaupun teori tersebut akhirnya terbukti benar, tapi saat itu tidak banyak yang mendukungnya. Justeru yang didukung adalah teori yang dilontarkan oleh Hiparchus (± tahun 190 – 125 SM.). Ia menyatakan bahwa Bumi itu diam, dan matahari, bulan, serta planet-planet lain mengelilingi bumi (Geosentris). Sistem Geosentris ini disempurnakan sekaligus populerkan lagi oleh Cladius Ptolomeus (w.160 M) dan lebih dikenal sebagai Sistem Ptolomeus yang terekam dalam maha karyanya Almagest, yang menjadi buku pedoman Astronomi hingga dimasa awal abad pertengahan selama berabad-abad.
Sekitar tiga belas abad kemudian, sistem Geosentris runtuh oleh Nicholas Copernicus (w.1543 M) di tahun 1512. Ia menuturkan, planet dan bintang bergerak mengelilingi matahari dengan orbit lingkaran (da'iry). Johanes Kepler (w.1630 M) mendukung gagasan itu di tahun 1609 melalui teorinya bahwa matahari adalah pusat tata surya, Kepler juga memperbaiki orbit planet menjadi bentuk elips (ihlijy) yang dikenal dengan tiga hukum Kepler-nya. Di tahun yang sama, Galileo Galilei (w.1642 M) menciptakan Teleskop monumental di dunia. Dari pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa bumi bukan pusat gerak. Penemuan Teleskop tersebut, selain memperkuat konsep Heliosentris Copernicus, juga membuka lembaran baru dalam perkembangan ilmu Astronomi.
Falak Pasca Jahiliyah (Era Islam)
Dalam Islam, pada awalnya Ilmu Falak juga tidak lebih hanya sebagai kajian 'nujumisme' (Astrologi). Hal ini terjadi antara lain dengan dua alasan; 1.) Kebisaan hidup mereka dipadang pasir yang luas serta kecintaan mereka pada bintang-bintang untuk mengetahui tempat terbit dan terbenamnya, mengetahui pergantian musim, dll. 2.) Keterpengaruhan mereka terhadap kebiasaan bangsa-bangsa yang berdekatan dengan mereka yang punya kebiasaan yang sama (Astrologi).
Datangnya Rasulullah S.a.w. beserta risalah-nya dengan membawa cahaya Al-Quran, menjelaskan bahwa masa bagi Allah S.w.t. adalah sama, tidak ada bahagia dan tidak ada celaka, bahagia dan celaka mutlak dalam kekuasaan Allah S.w.t. Perkembangan berikutnya aktifitas falak terus berkembang dengan kontrol Al Qur'an, hingga lahirlah banyak sarjana-sarjana falak berpengaruh dalam Islam.
Adalah Dinasti Abbasiyyah -tepatnya masa pemerintahan Ja'far al Mansur- berjasa meletakkan Ilmu Falak pada posisi istimewa, setelah Ilmu Tauhid, Fikih, dan Kedokteran. Ketika itu, Ilmu Falak -dikenal juga Astronomi- tidak hanya dipelajari dan dilihat dalam perspektif keperluan praktis ibadah saja, namun lebih dari itu, ilmu ini lebih dikembangkan sebagai pondasi dasar terhadap perkembangan science lain seperti; ilmu pelayaran, pertanian, kemiliteran, pemetaan, dll. Tidak tanggung-tanggung, Khalifah Al-Manshur membelanjakan dana negara cukup besar dalam rangka mengembangkan kajian Ilmu Falak. Ilmu Falak-pun terus berkembang hingga zaman pemerintahan Umawiyah, dengan puncak kecemerlangan perkembangannya dipemerintahan Khalifah Al-Makmun. Kajian Astronomi dibuat secara sistematik dan intensif yang melahirkan sarjana-sarjana Falak Islam semisal Al Battani (w.317 H), Al Buzjani (w.387 H), Ibn Yunus (399 H), At Thusy (w.672 H), Biruny (w.442 H), dll. Di era peradaban Arab-Islam inilah kajian falak mulai berkembang secara alamiah dan ilmiah dengan berbagai pembenahan teori, terjemah, cetak ulang, perbaikan, dan ta'lif dengan berbagai penambahan dan penemuan. Khusus dalam kepentingan ibadah, Qudama' Arab telah melakukan perhitungan waktu-waktu shalat, arah kiblat, rukyat hilal, perhitungan musim, dll.
Dimasa Al Makmun, mulai marak pula gerakan penerjemahan literatur-literatur Falak asing kedalam bahasa Arab, seperti buku "Miftah an Nujum" yang dinisbahkan pada Hermes Agung (Hermes al Hakim) dimasa Umawiyah, menyusul buku Sind Hind tahun 154 H/ 771 M yang diterjemahkan oleh Ibrahim al Fazzary (w...?), Almagest Ptolomaeus yang diterjemahkan oleh Yahya bin Khalid al Barmaky dan disempurnakan oleh al Hajjaj bin Mutharr dan Tsabit bin Qurrah (w.288 H), dll.
Hal penting yang perlu dicatat -seperti ditegaskan diatas- , perkembangan peradaban falak Arab-Islam memang tidak bisa dilepaskan dari peradaban sebelumnya, dalam bahasa yang agak 'ekstrim', Arab memang berhutang terhadap peradaban sebelumnya. Namun terdapat beberapa keistimewaan dibalik keberhutangan tersebut, antara lain sbb.;
1.] Meski Arab menukil dari peradaban sebelumnya, namun senantiasa disertai dengan koreksi (tashih al akhtha'), penjelasan ulang teori (syarh), penambahan informasi, yang berikutnya membuat karya-karya (ta'alif ) tersendiri yang punya ciri dan keunggulan.
2.] Peradaban falak Arab-Islam tidak hanya terhenti dalam sebatas tinjauan teoritis saja (dirasat nazhariyyah), namun mempolanya dalam bentuk ilmu-ilmu pasti seperti mate-matika, fisika, kimia, dll., hal ini paling tidak dapat dilihat dari karya-karya (alat-alat) observasi yang ada.
3.] Dalam hal perbintangan (Astrologi), Arab-Islam memang tidak mampu menghapus habis tradisi ini, bahkan praktek ini tetap ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari hingga saat ini. Alasannya -seperti disebutkan diatas-, Astrologi bicara tentang diri seseorang dengan segala kemungkinan suka dan dukanya. Wallah a'lam.
Rekonstruksi Fakta
Setiap kali bicara tentang orbit benda-benda langit, kita pasti akan bersentuhan dengan hukum Kepler. Hukum ini digagas oleh Johannes Kepler pada awal abad ke-15 M. Kepler mendasarkan hukumnya berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Astronom Denmark, Tycho Brahe. Hukum ini memang telah diakui sebagai terbenar dalam abad ini. Hukum Kepler terdiri dari tiga postulat yang menjelaskan tentang orbit planet. Secara singkat, Hukum Kepler pertama menjelaskan bahwa planet-planet mengorbit (mengelilingi) matahari dengan lintasan berbentuk elips (ihlijy) dengan Matahari pada salah satu fokusnya. Hukum kedua Kepler menjelaskan tentang pergerakan planet. Dalam satu rentang waktu yang sama, planet bergerak menyapu daerah yang sama panjangnya. Karena orbit planet berbentuk elips, maka konsekuensinya makin dekat jarak planet ke Matahari, makin cepat pula gerak orbitnya. Terakhir, hukum ketiga Kepler menyatakan bahwa kuadrat dari periode planet (waktu yang diperlukan untuk menempuh satu orbit) adalah sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata planet itu dari matahari. Pernyataan ini dituangkan dalam persamaan matematis: P2 = a3, dimana P adalah periode planet mengelilingi Matahari (dihitung dalam tahun) dan a adalah jarak planet ke Matahari (dalam Satuan Astronomi). Konsekuensi dari hukum ini adalah semakin jauh jarak planet, makin lambat pula pergerakannya.
Terhadap tiga hukum Kepler diatas, Prof.Dr.Muhammad Shalih an-Nawawy (Guru Besar Falak Universitas Kairo) menyatakan (menulis) dalam makalahnya berjudul "Ibn Syathir wa Nashiruddin at Thusy wa Dawa'ir al Aflak" yang dipresentasikan pada seminar internasional sejarah ilmu pengetahuan tanggal 28-30 September 2004 M di Perpustakaan Iskandariah-Mesir, ia mengungkap, bahwa teori tersebut pada dasarnya telah dikemukakan atau setidak-tidaknya disinggung oleh Ibn Syathir (w.777 H) diabad 8 H melalui karyanya "Kitab Ta'liq al Arshad" dan "Nihayat al Ghayat fi [l] a'mal al Falakiyyat". Lebih lanjut, melalui diskusi (bincang-bincang) penulis dengan Dr.Muhammad Abdul Wahab Jalal (mantan Guru Besar falak-riyadhiyyat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan (History Science) Universitas Perancis) menyatakan; Nicholas Copernicus dalam teori "bulat bumi"-nya, ternyata komposisi jadwal Astronomi yang ia buat sama persis seperti teori (jadwal) yang dibuat Ibn Syathir dalam jadwal (Zig)-nya. Wallah a'lam
Defenisi & Terminologi Falak
25 Februari 2009 8:44
Ilmu Falak (Astronomi) adalah Ilmu yang mempelajari tentang tata lintas benda-benda angkasa (terutama bulan, bumi dan matahari) secara sistematis dan ilmiah, demi kepentingan manusia. Ilmu ini terhitung sebagai cabang ilmu pengetahuan tertua, sebab ilmu ini ada semenjak jagad raya ini terbentuk. Kata 'falak' pluralnya 'aflak' bermakna orbit edarnya benda-benda angkasa (al madar yasbah fihi al jirm as samawy). Ibn Khaldun (w.808 H) mendefenisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang beterbangan.
HUBUNGAN ILMU FALAK DAN ASTROLOGI
Penamaan Ilmu Falak sangat beragam dalam khazanah turats sebelum dan sesudah Islam seiring dengan kadar kemampuan manusia dalam menerjemahkan fenomena angkasa raya. Dalam Islam, peran bangsa Yunani (Greek) agaknya tidak bisa dilepaskan, justeru istilah Astronomi yang telah mengakar tersebut berasal dari bahasa ini. Astro berarti Bintang, dan Nomia berarti Ilmu.
Secara alami, ilmu ini terus berkembang seiring perkembangan nalar manusia, sehingga membawa konsekuensi kepada berubahnya penamaan ilmu ini kepada berbagai macam penamaan meski obyeknya tetap sama. Diantara beragam penamaan tersebut yang banyak menghiasi buku-buku klasik antara lain; 'Ilm an Nujum, 'Ilm Hay'ah, 'Ilm Hay'ah al Aflak, 'Ilm Hay'ah al 'Alam, 'Ilm al Aflak, 'Ilm Shina'ah an Nujum, 'Ilm at Tanjim, 'Ilm Shina'ah at Tanjim, 'Ilm Ahkam an Nujum, dll.
Di abad pertengahan (± abad IX H) ilmu ini lebih dikenal dengan nama 'ilm al hay'ah atau 'ilm al hay'ah al aflak. Sementara itu penggunaan kata 'ilm al falak tidak begitu masyhur, pula tidak banyak beredar, meski kata ini tetap ada menghiasi buku-buku klasik dengan maksud dan tujuan yang sama. Antara lain, Ibn an-Nadim (w.388 H) dalam Al Fihrist-nya, ketika menjelaskan biografi Ya'qub bin Thariq menyebut kata ini (baca: falak/ilmu falak) sebagai cabang ilmu yang dimaksud. Kata 'falak', dengan makna 'edar' sebagai dimaksud dalam disiplin 'Ilmu Falak' banyak tertera dalam Al Qur'an, antara lain QS.Yasin ayat 40:
لا الشمس ينبغي لها أن تدرك القمر ولا الليل سابق النهار وكل فى فلك يسبحون
Carlo Nillino, Guru Besar Ilmu Falak Universitas Fu'ad Awwal (Jami'ah al Misriyyah) sekarang Jami'ah al Qahirah dan Universitas Pallermo Italia menyatakan; kata falak yang banyak beredar dalam Al Qur'an bukan berasal dari bahasa Arab, akan tetapi teradopsi dari bahasa Babilonia yaitu 'Pulukku' yang berarti 'edar'. Wallah a'lam
Perkembangan selanjutnya, ilmu falak terus berkembang dengan berbagai elaborasi dan akselerasi ilmiah hingga akhirnya ilmu ini dengan khas nama 'Ilmu Falak' mengakar diperadaban Islam sampai detik ini. Terlihat, diperguruan-perguruan tinggi, instansi-instansi pemerintah, organisasi keislaman muncul kajian-kajian dan mata kuliah Ilmu Falak dalam teori dan praktek. Secara lebih khusus, Ilmu Falak berperan secara detil dalam kepentingan umat Islam dalam empat hal, yaitu: [1]. Menentukan awal bulan Qamariyah, [2]. Menentukan jadwal shalat, [3]. Menentukan bayang (arah) kiblat, [4]. Menentukan kapan dan dimana terjadinya gerhana.
Astronomi,
falak dan astrologi merupakan istilah yang memiliki kedekatan dari
aspek objek kajian, yakni mengkaji masalah yang berhubungan dengan benda
langit meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi, tujuan dan ruang
lingkup kajiannya. Tulisan ini lebih lanjut akan menyoroti perbedaan dan
hubungan ketiganya.
Astronomi
adalah studi ilmiah terhadap benda-benda langit seperti
bintang-bintang, bulan, planet, galaksi, materi gelap dan lain-lain yang
dilakukan menggunakan metode scientific. Objeknya adalah fisik benda
langit, proses terjadinya suatu benda langit, gerak, ukuran dan segala
sesuatu yang berhubungan dengannya. Basis ilmu yang mendukung studi
astronomi antara lain matematika, fisika dan kimia. Di era modern ini
astronomi didukung oleh berbagai sarana pengamatan seperti teleskop
(optik dan radio) dan pesawat antariksa.
Berbeda
dengan astronomi, astrologi memiliki keunikan tersendiri, yang karena
keunikannya disiplin ini sering mendapatkan sorotan tajam dari dunia
sains. Secara umum, astrologi adalah bahasa, seni dan ilmu pengetahuan
yang mempelajari keterkaitan antara siklus benda-benda langit dan
kehidupan manusia di muka bumi. Inti astrologi adalah berawal dari
wawasan kosmologi manusia yang memandang adanya pengaruh peredaran benda
langit terhadap kehidupan manusia di bumi. Pada tahapan ini wawasan
kosmologi manusia masih diselimuti kabut mitos.
Mitos
kosmologi ini telah berjasa membangkitkan perhatian yang besar manusia
di masa lalu terhadap alam semesta khususnya benda-benda langit yang
diyakini memberi pengaruh pada kehidupan manusia. Dari sini pengamatan
secara terstruktur terus dilakukan hingga ribuan tahun. Hasil pengamatan
astrologi ini pada gilirannya berhasil memetakan benda-benda langit
yang dengan sentuhan metode dan pendekatan baru akhirnya melahirkan
disiplin astronomi. Dengan demikian astrologi telah berjasa besar dalam
meletakan fondasi astronomi.
Landasan
astrologi sama seperti astronomi yang juga didasarkan pada observasi
atau pengamatan. Itulah sebabnya astrologi di kalangan pendukungnya
dinyatakan sesuatu yang memiliki landasan ilmiah yang sama dengan sains.
Astrologi tidak ada hubungannya dengan dunia klenik dan mistik,
sehingga seseorang yang berniat untuk mempelajari astrologi tidak perlu
mempunyai indra keenam dan kekuatan ghoib seperti yang orang sebut
kekuatan supranatural.
Di
masyarakat luas, pandangan tentang astrologi umumnya selalu dikaitkan
dengan ramalan, namun para astrolog sendiri lebih suka menyebutnya
sebagai perkiraan atau prediksi. Sebagaimana ilmuwan memprediksikan
cuaca atau seorang pialang saham memperkirakan nilai saham, demikian
pula para astrolog berupaya memperkirakan peristiwa-peristiwa apa yang
bakal terjadi di masa mendatang. Bedanya hanya basis data yang
dipergunakan. Ilmuwan mempergunakan data-data iklim suatu negara sebagai
tolok ukurnya, pialang saham memanfaatkan data-data fluktuasi harga
saham dimasa lampau, sedangkan para astrolog menggunakan letak
benda-benda langit sebagai acuan penelaahannya.
Astrologi
itu sebenarnya tidak berhubungan dengan dunia mistik. Pembuatan peta
langit astrologis tidak didasari oleh ilmu ghaib, tetapi melalui
serangkaian perhitungan matematis dan astronomis yang rumit. Para
astrolog semenjak zaman ribuan tahun yang lampau telah melakukan
pengamatan terhadap posisi relatif benda-benda langit satu sama lain.
Astrologi
bukanlah sains murni, tetapi ia merupakan perpaduan antara ilmu
pengetahuan, seni dan filosofi. Astrologi ini mempelajari tentang
pengaruh sitem tata surya pada beragam bentuk kehidupan dan efeknya pada
manusia dan yang berkaitan dengan bumi. Astrologi juga memberikan
panduan pada semua aspek kehidupan, harmonisasi pikiran, tubuh, jiwa.
Astrologi memudahkan seseorang untuk memprediksi masa depan. Prediksi
ini berdasarkan pengamatan, persepsi, perhitungan dan serangkaian uji
coba. Karena sifatnya yang hanya prediksi, analisis dengan astrologi
mungkin saja meleset, hal itu disadari karena alam memiliki keragaman
hukum kausalitas yang saling bertautan dan rumit. Semakin banyak
kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan memahami hukum kausalitas
di alam semesta, akan membantu manusia untuk dapat melakukan rekayasa
dalam kehidupan dan memanipulasi kondisi-kondisi buruk yang
dipredikasikan akan terjadi. Di dalam astrologi manusia dipandang
memiliki kehendak bebas dalam memanfaatkan berbagai energi di alam
semesta ini dan pastinya ada yang terkandung positif atau negatif.
Astronomi
juga berbeda dengan astrologi dari segi konsepsi grand theory. Teori
astrologi bernuansa geosentrisme-anthromorfisme. Di sini bumi dipandang
sebagai pusat dari alam semesta, dan benda-benda langit yang mengitari
bumi masing-masing memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang
hidup di bumi. Teori itu dalam perkembangan selanjutnya disanggah oleh
Coppernicus yang mengetengahkan konsep bahwa bumilah yang sesungguhnya
mengelilingi matahari dan mataharilah yang menjadi pusat alam semesta.
Teori Copernicus yang disebut heliosentrisme mematahkan anggapan yang
bertahan selama berabad-abad.
Inilah
tonggak berdirinya ilmu astronomi yang kemudian disambut oleh
masyarakat sedunia. Meskipun sebenarnya teori geosentrisme masih ada
dianut oleh berbagai kalangan secara minoritas. Yang ingi penulis
kemukakan di sini adalah bahwa Ilmu astrologi memberikan sumbangsih yang
besar kepada perkembangan ilmu alam dan menginspirasi ilmuwan besar
seperti Pythagoras, Plato, Aristotle, Galen, Paracelsus, Girolamo
Cardan, Nicholas Copernicus, sehingga pada gilirannya melahirkan para
astronom besar seperti Galileo Galilei, Tycho Brahe, Johannes Kepler,
Carl Jung dan lain sebagainya.
Dewasa
ini astronomi berkembang menjadi cabang sains yang bukan hanya
mengkaji posisi dan pergerakan benda-benda langit, tetapi juga fisis
dan evolusinya. Perkembangannya demikian pesat yang menimbulkan
lahirnya cabang-cabang baru, misalnya astrofisika (menitikberatkan pada
segi struktur dan komposisi fisis, bukan lagi posisi dan pergerakan
benda langit), kosmogoni (menitikberatkan pada asal-usul dan evolusi
tata surya), kosmologi (menitikberatkan pada asal-usul dan evolusi alam
semesta), dan yang baru adalah bioastronomi (menitik beratkan
kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi). Teori-teorinya senantiasa
diperbarui bila ada bukti-bukti lain yang menyempurnakan atau
menggugurkan teori semula. Melalui astronomi,
manusia mencoba mendeskripsikan apa dan bagaimana proses fenomena alam
bisa terjadi dalam konteks eksperimen dan pengamatan, dengan parameter
yang bisa diamati dan diukur, yang bisa benar bisa pula salah. Agama
memperluas lagi spektrum makna alam semesta bagi manusia tentang
kehadiran benda-benda alam semesta
Dengan
demikian astrologi dan astronomi merupakan sebuah rangkaian
perkembangan peradaban manusia yang perlu dilihat secara utuh, meskipun
keduanya kini telah bercerai disimpang jalan. Mempelajari astrologi dan
pembacaan horoskop tidaklah selalu merugikan dan harus dituding
sebagai barang haram, sebab di balik itu semua ilmu astrologi menyimpan
rahasia-rahasia dunia yang tak terjawab oleh astronomi, yang menanti
untuk dikuak oleh manusia. Terlepas dari benar tidaknya anggapan bahwa
astrologi adalah mitos, namun manusia secara nature tidak bisa
melepaskan diri sepenuhnya dari mitos. Sejarah membuktikan betapa mitos
diperlukan oleh manusia sebagai jawaban sementara sebelum sains. Mitos
pula yang menggugah rasa ingin tahu manusia dengan hasrat yang begitu
besar.
Ilmu Falak
Falak merupakan istilah arab (الفلك) yang diserap dari bahasa Babilonia yaitu fulukku
yang berarti edar. Dalam berbagai literatur objek kajian falak
sebenarnya sama dengan objek kajian astronomi, yakni benda-benda langit,
termasuk dalam pembahasannya adalah keadaan benda langit, ukuran,
jarak, posisi, gerak edar dan berbagai efek yang diakibatkan dari pola
hubungan antar benda-benda langit tersebut, seperti gerhana. Dengan demikian menurut hemat penulis kajian ilmu falak pada
dasarnya amat luas, sehingga dapat disamakan dengan kajian astronomi
dan idealnya tidak perlu ada dikotomi antara astronomi dan ilmu falak,
hanya saja dewasa ini di dunia Islam terminologi ilmu falak dipergunakan
terbatas untuk keperluan ibadah seperti menentukan arah kiblat, waktu
salat, puasa dan hari raya. Mengacu pada kenyataan dan praktik yang
demikian maka dapat dimaknai bahwa falak merupakan astronomi spesifik
dalam ruang lingkup kajian yang lebih sempit.
Dewasa
ini, ruang lingkup kajian falak yang sempit perlu dikembalikan pada
kedudukannya sebagai disiplin keilmuan yang sejajar dengan astronomi
dengan obyek kajian dan terminologi tidak terbatas
seperti sekarang ini. Para astronom muslim di masa lalu tidak membatasi
ruang lingkup kajiannya pada bumi, matahari dan bulan yang tujuannya
untuk kepentingan ibadah semata, tetapi mereka melakukan pengamatan dan
penelitian benda-benda angkasa luar yang lebih luas lagi, berkaitan
juga dengan teori-teori eksak dan alat-alat teknologi ruang angkasa.
Salah seorang tokoh ilmu falak yang sangat berpengaruh di dunia Islam
adalah al-Khawarizmi dengan karyanya al-Mughtashar fi Hisab al-jabr Wa al-muqabalah, sangat
berpengaruh terhadap cendekiawan-cendikiawan Eropa. Buku tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Robert Chester pada tahun 1140 M
dengan judul Algebras et almucabala. Kemudian pada tahun 1831 M, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Federic Rasen.
Selain Khawarizmi, tokoh astronom muslim lainnya adalah Abu Raihan al-Biruni, karyanya yang berjudul al-Qanun al-Mas’udi
merupakan buku terlengkap mengenai astronomi pada masanya, karena
menerangkan gerak planet-planet di angkasa raya. Karyanya yang lain
berjudul al-Atsar al-Baqiyah, secara khusus membahas tentang
rotasi bumi (yang pada waktu itu masih diperdebatkan) dan menetapkan
dengan teliti garis-garis lintang dan garis bujur. Satu lagi tokoh yang
terkenal adalah al-Haitsam dengan julukan bapak optik, salah satu
karyanya adalah buku yang berjudul al-Muntakhab fi ’Ilal ’Ain,
buku ini mengupas mengenai petunjuk perawatan mata, selain itu banyak
artikel-artikel yang mengenai matematika, astronomi, fisika dan
kedokteran.
Berdasarkan sumbangan ilmu
pengetahuan para tokoh tersebut, sudah semestinya ilmu falak sekarang
tidak membatasi luang lingkupnya pada kajian bumi, bulan dan matahari
saja tetapi lebih diarahkan lagi kepada upaya pengembangan lebih jauh
untuk melakukan observasi dan usaha-usaha yang lebih serius berkaitan
dengan kajian ruang angkasa. Kajian falak harus sejajar dengan
astronomi dalam objek dan ruang lingkupnya. Falak hanyalah adalah pintu
masuk untuk memahami dimensi alam semesta yang lebih luas lagi.